Sering Gatal?

Waspadai

Autoimun Kulit

FREEPIK

Stres yang ditimbulkan oleh kondisi saat ini memicu kekambuhan penyakit.

Bukan hanya batuk dan sesak napas, salah satu penyakit yang perlu diperhatikan selama masa pandemi Covid-19 adalah autoimun kulit. Boleh jadi tak banyak yang memahami bahwa autoimun kulit dapat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya, karena penyakit ini merupakan penyakit yang bersifat kronis jangka panjang dan dan bersifat kambuhan.

 

Dokter spesialis dermato-venereologi (kulit dan kelamin) dari Klinik Pramudia, Amelia Soebyanto menjelaskan ada tiga penyakit autoimun kulit yang kerap muncul selama masa pandemi Covid-19 yaitu psoriasis, vitiligo, dan urtikaria (biduran).

 

“Secara umum, gejala autoimun kulit yang biasa ditemukan adalah berupa bercak kemerahan atau bercak berwarna putih yang dapat terjadi pada permukaan kulit, rambut maupun kuku,” kata Amelia dalam acara webinar Kenali Autoimun Kulit yang Kerap Muncul Selama Pandemi.

 

Amelia menjelaskan psoriasis adalah penyakit peradangan kulit yang kronik dan sering kambuh, dapat timbul pada semua usia, terutama 15-30 tahun dan 50-60 tahun. Prevalensi terjadinya sekitar 0,1 -3 persen  dari populasi dunia, dengan ras Kaukasia paling banyak melaporkannya. Di Indonesia sendiri, psoriasis dilaporkan terjadi sebanyak sekitar 2,5 persen dari populasi dan dapat diderita laki-laki maupun perempuan.

 

Kedua, autoimun kulit yang sering muncul adalah vitiligo yang merupakan suatu kelainan kulit berupa bercak putih seperti kapur, kadang disertai gatal. Vitiligo dapat terjadi pada segala usia, tapi sekitar 50 persen kasus terjadi sebelum usia 20 tahun dan prevalensi meningkat seiring dengan pertambahan usia.

 

Ketiga, urtikaria atau yang umum disebut biduran merupakan kondisi terdapat lesi pada kulit yang meninggi dan gatal. Umumnya, lesi itu berwarna merah dan terasa gatal hingga perih-perih. Prevalensi urtikaria autoimun dilaporkan sekitar 0,05-3 persen, dan ditemukan dua kali lebih banyak pada perempuan dengan rentang usia 40-49 tahun.

 

Amelia mengatakan secara umum penyakit autoimun kulit bersifat kronis jangka panjang dan kambuhan.  Namun, kekambuhannya bisa dicegah dengan kontrol rutin dan pola hidup sehat. “Pasien tentu harus menerapkan gaya hidup sehat, misalnya makan makanan bergizi yang kaya vitamin D dan menghindari rokok,” ujar dia.

 

Namun, dia menekankan bahwa menjaga kesehatan mental juga tak kalah penting bagi pasien, seperti tetap aktif, berpikir positif, serta mampu mengelola stres. Dia menyarankan untuk segera melakukan konsultasi ke dokter spesialis kulit jika mengalami gejala atau jika mengalami kekambuhan autoimun kulit.

Secara umum, gejala autoimun kulit yang biasa ditemukan adalah berupa bercak kemerahan atau bercak berwarna putih yang dapat terjadi pada permukaan kulit, rambut maupun kuku.

Terkait pengobatan, Amelia mengatakan psoriasis, vitiligo, maupun urtikaria memiliki cara pengobatan spesifik masing-masing. Namun secara umum, tata laksana penyakit autoimun kulit yaitu berupa obat oles (topikal), obat minum (oral), obat suntik, maupun fototerapi atau fotokemoterapi. “Pertimbangan pemberian terapi ini tentu disesuaikan dengan jenis penyakit, luas, dan derajat keparahan penyakit, serta kondisi penyertanya atau komorbiditas,” kata dia.

 

Selain obat-obatan, penatalaksanaan nonmedikamentosa juga penting, yakni menghindari garukan dan trauma, hingga manajemen stres yang baik juga berperan penting dalam membantu mengendalikan penyakit autoimun kulit ini.

 

Amelia menambahkan pengobatan terhadap penyakit autoimun kulit menjadi tantangan tersendiri pada masa pandemi. Kondisi pandemi menganjurkan masyarakat untuk sebisa mungkin berada di rumah dan mengurangi aktivitas di luar, sehingga berdampak pada penundaan untuk memeriksakan diri ke dokter, serta memilih melakukan pengobatan sendiri di rumah.

 

Stres yang ditimbulkan oleh kondisi saat ini juga memicu kekambuhan penyakit autoimun kulit. “Pada intinya, jangan takut memeriksakan diri ke dokter spesialis kulit di masa pandemi ini, karena tentu saja prosedur konsultasi dan pemeriksaan semuanya sesuai dengan protokol kesehatan,” ujar Amelia.

 

Amelia mengatakan dokter kulit tak bisa mengatakan bahwa penyakit autoimun kulit dapat sembuh. Pada dasarnya, sifat perjalanan penyakit ini kronis atau jangka panjang, dan bersifat kambuhan. “Kita bisa bantu kontrol penyakit ini pada taraf yang tak mengganggu aktivitas pasien dan tak menimbulkan komplikasi jangka panjang,” kata Amelia.

 

Sampai saat ini, pengobatan penyakit autoimun kulit terbatas untuk mengatasi peradangan dan sistem imun yang terlalu aktif. Jika penyakit autoimun kulit tak diobati, maka perjalanannya menjadi lebih panjang dan berat hingga muncul bercak baru yang lebih luas. Kondisi itu membutuhkan waktu pengobatan lebih panjang dan kombinasi terapi.

Cegah Kambuh dengan Lima Cara

Andrea piacquadio/pexels

Untuk mencegah kekambuhan autoimun kulit selama pandemi, ada lima cara yang bisa dilakukan. Berikut tip dari Dokter spesialis dermato-venereologi (kulit dan kelamin) dari Klinik Pramudia, Amelia Soebyanto.

cottonbro/pexels

Teliti Pilih Produk Perawatan Kulit

Bagi para pasien autoimun kulit, mulai saat ini harus berhati-hati menggunakan skincare atau produk perawatan kulit.

 

Dokter spesialis dermato-venereologi (kulit dan kelamin) dari Klinik Pramudia, Amelia Soebyanto  menekankan bahwa pasien autoimun kulit harus mengatasi kondisinya terlebih dahulu sebelum menggunakan produk perawatan kulit.

 

Amelia mengingatkan pasien autoimun kulit perlu memahami bahwa semakin banyak zat atau produk yang digunakan untuk kulitnya, maka berpotensi mencetuskan iritasi. Karena itu, dia menyarankan sebisa mungkin meminimalisasi produk kulit terlebih dahulu.

 

Amelia mengatakan penggunaan moisturizer atau pelembab bisa menjadi alternatif produk perawatan kulit. “Untuk melembabkan kulitnya, itu akan mengurangi keluhan gatal, kulit menjadi lebih lembab dan terkontrol dibandingkan pakai skincare yang tak tahu bahannya apa,” ujar Amelia.

 

Dia menyarankan pasien autoimun kulit memilih pelembab yang disarankan untuk kulit sensitif, karena mengandung bahan yang tingkat iritasinya lebih rendah dan bersifat hipoalergenik.

 

Sebelum memilih menggunakan pelembab, dokter spesialis kulit dan kelamin Anthony Handoko meminta pasien untuk memastikan bahwa penyakitnya itu sudah dalam tahap perawatan, bukan lagi pengobatan. “Edukasi yang jauh lebih penting, mereka harus berobat dulu agar tak lebih parah. Pemberian moisturizer lebih ke merawatnya saja,” kata CEO Pramudia itu.

 

Anthony mengatakan perawatan kulit itu bisa dilakukan jika kondisi penyakit sudah lebih baik atau sehat. “Sebelum skincare, jauh lebih penting adalah skin treatment,” ujar dia.

 

Dia menjelaskan skin treatment ini adalah bentuk pengobatan, baik itu dengan oles, minum, atau terapi sinar. Setelah penyakit terkontrol baik, maka pasien bisa masuk ke produk perawatan kulit, tetapi dengan rekomendasi dokter. “Kalau ada penyakit kulit, solusinya bukan skincare dulu. Skincare bukan untuk pengobatan, itu untuk kulit tak bermasalah, autoimun kulit harus diberikan skin treatment,” kata Anthony.

Freepik

Freepik

Kapan kita harus mencurigai kondisi autoimunitas? Menurut Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Dr dr Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI, agak sulit dilakukan karena autoimun ada lebih dari 150 jenis. Tentunya setiap kondisi organ yang kena bisa menimbulkan gejala yang berbeda. Tapi ada beberapa patokan yang bisa kita gunakan untuk mencurigai kondisi autoimun.

1. Wanita usia produktif.

2. Alami keluhan sifatnya menahun dan tidak membaik.

Misalnya kita mengalami kesulitan konsentrasi yang terus menerus selama berminggu-minggu, kelelahan yang terus menerus, nyeri sendi, sakit otot, alami gangguan saluran cerna. "Di situ kita bisa mencurigai kita dalam kondisi autoimunitas atau tidak," tambahnya.

3. Kesemutan, keguguran berulang, serta ketidaksuburan.

Qory Sandioriva, seorang aktris dan model, baru menyadari dirinya menjadi penderita autoimun setelah berselang tujuh tahun. Ketika itu banyak diagnosis autoimun yang didapatkan dalam dirinya. Gejala yang ia rasakan sebelum terdeteksi di antaranya tiba-tiba pingsan, sesak napas, sendi sakit, kesemutan, sakit kepala hebat, dan lainnya.

 

Gejala ini muncul setelah ia terjun ke dunia hiburan tanah air lantaran adanya perubahan gaya hidup yang dilakukan. Perubahan pola makan, pola pikir, serta pola olahraga dan lingkungan. "Sebelumnya saya atlet, kemudian ketika orang tua saya minta berhenti dan saya terjun ke dunia entertainment, gaya hidup saya berubah, tidur jadi pagi, kegiatan malam sampai pagi,'' kata dia.

 

Di samping itu, ia juga memiliki kakak yang juga merupakan penyintas autoimun. Saat ini Qory sudah 13 tahun menjadi penyintas autoimun dan sudah terbebas dari obat serta cukup konsumsi vitamin saja.

 

Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Dr dr Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI, menjelaskan sistem imun bertugas untuk mempertahankan tubuh terhadap serangan dari luar, baik virus, bakteri, jamur atau racun. Selain itu, juga mempertahankan dari serangan kanker.

 

"Pada autoimunitas, sistem imun yang tugasnya melawan serangan dari luar atau untuk melawan kanker dari tubuh justru berbalik menyerang jaringan yang sehat. Ini menyebabkan kerusakan jaringan, organ bahkan kematian yang lebih tinggi," paparnya dalam acara eTalk Series Bank DBS Indonesia dengan tema “Autoimmune Won’t Keep You Apart: Living Well with Loved Ones”.

 

Dengan perkembangan ilmu kedokteran yang semakin maju, saat ini ada lebih dari 150 tipe autoimun yang saat ini dikenali. Kondisi autoimun bisa menyerang dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ada yang menyebabkan kerontokan rambut, menyerang sistem saraf, sendi, bahkan masalah ginjal dan organ dalam. "Banyak yang sudah dikenali bahkan semakin lama semakin bertambah yang bisa dikenali," ujarnya.

 

Ia mengatakan yang berisiko terkena kondisi autoimunitas adalah wanita usia produktif, karena itu harus dilindungi dari awal, agar wanita usia produktif tetap mengalami kualitas hidup yang prima dan baik. Ada beberapa kondisi autoimun yang sering dihadapi yaitu rheumatoid arthritis, diabetes tipe 1, inflamantory bowl disease, sorgen syndrome, dan lupus. "Jika ada anggota keluarga yang mengalami risiko autoimunitas tentunya kita, anak dan cucu memiliki risiko," tambahnya.

 

Walaupun risiko tidak menjadi kejadian, lanjutnya, tapi risiko tersebut harus menjadi kewaspadaan. Supaya bisa dikenali lebih cepat dan ditangani dengan tepat.

 

Kondisi autoimun tak hanya disebabkan oleh satu hal, walaupun ada kondisi genetik tapi ada banyak faktor lainnya baik dalam tubuh sendiri maupun lingkungan sekitar yang bisa mencetuskan kondisi autoimunitas. Misalnya diet yang salah, stres berkepanjangan, infeksi virus, toksin dalam lingkungan seperti polusi udara, mikroplastik dan  lainnya.

 

Makanan yang tinggi proses dan antibiotik juga bisa mencetuskan kekambuhan autoimunitas. "Kalau misalnya bisa memperbaiki kondisi tubuh dan lingkungan kita seperti diet, pola makan, pola pikir, maka besar kemungkinan kondisi autoimun bersama terapi yang diberikan oleh dokter Anda, bisa mengendalikan kondisi autoimun dengan baik," ujarnya.

 

Jadi, menurutnya, kondisi autoimun tak harus merupakan kondisi yang harus dialami sepanjang hidup. Tapi dengan beberapa tindakan yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kualitas hidup, gaya hidup, Anda juga bisa membantu memperbaiki kondisi autoimun tersebut.

Jangan Abaikan Gejala Autoimun

Perhatikan Gejala dan Kondisi Ini

top